page-loader { position:fixed !important; position:absolute; top:0; right:0; bottom:0; left:0; z-index:999999; background: #000 url("URL IMAGE") no-repeat 50% 50%; padding:1em 1.2em; display:none }
SELAMAT DATANG. . .SELAMAT MENAMBAH PENGETAHUAN


SELAMAT DATANG . . .SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 27 Agustus 2017

Pedagogik (teori belajar)


SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA DAN
KESEHATAN



FILOSOFI PENDIDIKAN JASMANI, OLAHRAGA DAN KESEHATAN



KOMPETENSI INTI :  
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran penjasorkes
KELOMPOK  KOMPETENSI DASAR :
1. Menjelaskan dimensi filosofis pendidikan jasmani termasuk etika sebagai aturan dan profesi  2. Menjelaskan perspektif sejarah pendidikan jasmani

URAIAN MATERI A. Konsep pendidikan jasmasi, pendidikan olahraga dan pendidikan kesehatan
1. Landasan Filosofis Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga Dan Pendidikan Kesehatan Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya
Pendidikan jasmani dalam Agenda Berlin adalah proses sosialisasi via aktivitas jasmani, bermain dan/atau olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan. Uraian itu menggambarkan bahwa pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan dimana aktivitas jasmani menjadi sasaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Sedangkan Bucher (1960) memberikan batasan bahwa pendidikan jasamani merupakan bagian integral dari pendidikan total yang mencoba mencapai tujuan untuk mengembangkan kebugaran, mental, sosial, serta emosional bagi masyarakat, dengan wahana aktivitas jasmani. Uraian tersebut juga menjelaskan bahwa aktivitas jasmani juga menjadi alat mencapai pendidikan. Disamping itu juga bahwa pada pembelajaran pendidikan jasmani tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan kebugaran jasmani saja melainkan juga mengembangkan mental, sosial, dan emosional.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU-SKN), pasal 1 ayat 11 menerangkan bahwa olahraga pendidikan atau pendidikan jasmani merupakan pendidikan jasmani dan aolahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, kesehatan dan kebugaran.
Secara sederhana bahwa pendidikan jasmani itu merupakan proses belajar untuk bergerak dan belajar melalui gerak. Selain belajar dan dididik melalui gerak untuk mencapai tujuan pengajaran, dalam pendidikan jasmani itu anak diajarkan untuk bergerak guna mendapatkan pengalaman gerak yang seluas-luasnya. Melalui peroses pencapaian pengalaman itu akan terbentuk perubahan dalam aspek jasmani dan rohaninya yang melekat. Selanjutnya pelaksanaan pengajaran pendidikan jasmani diarahkan pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakukan gerak dengan harapan siswa dapat aktif dan pada gilirannya akan membantu perkembangan kebugaran jasmaninya. Proses kegiatannya mencakup kegiatan latihan atau pelaksanaan tugas-tugas permbelajaran yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan dampak lebih lanjut adalah anak memiliki kebiasaan dan keterampilan untuk mengisi waktu luangnya dan kelak keterampilan yang dimilikinya diharapkan dapat dilakukan sepanjang hayatnya.  Pada Agenda Berlin diuraikan bahwa Pendidikan Jasmani adalah:
a) Satu-satunya mata pelajaran disekolah yang fokusnya adalah pada badan, aktivitas jasmani dan perkembangan fisik.
b) Membantu anak untuk mengembangkan respek terhadap badannya, baik yang dimilikinya maupun milik orang lain.
c) Mengembangkan anak kebiasaan aktif yang penting bagi perkembangan kesehatan dan menjadi landasan bagi gaya hidup sehat setelah dewasa.
d) Mengembangkan pemahaman tentang peranan aktivitas jasmani aerobik dan aerobik untuk meningkatkan kesehatan.
e) Memberikan sumbangan bagi perkembangan kepercayaan diri dan self esteem pada anak.
f) Mendorong perkembangan kognitif dan sosial, memberikan sumbangan bagi pengembangan keterampilan pendidikan yang fundamental seperti baca, tulis, dan prestasi akademik.
g) Merupakan satu-satunya alat (kesempatan) yang disediakan kepada semua anak apapun kemampuannya,jenis kelamin, usia, budaya, agama atau latar belakang sosial mereka dengan keterampilan, pengetahuan dan pemahanan untuk berpartisipasi dalam pendidikan jasmani dan olahraga sepanjang hayat.
h) Mempersaiapkan anak untuk dapat mengatasi kompetisi kompetisi, kemenangan atau kekalahan, kooperasi dan kolaborasi.
i) Merupakan kontribusi yang bermakna bagi pengembangan keterampilan sosial dan terhadap perkembangan moral serta estetika.
j) Memberikan bekal keterampilan dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan profesional di kemudian hari dalam olahraga, aktivitas jasmani, rekreasi dan waktu senggang, sebuah wilayah dari kesempatan vokasional yang semakin berkembang.

2. Tujuan Pendidikan Jasmani
Tujuan pendidikan jasmani secara umum adalah untuk membantu pesera didik mengembangkan potensi gerak pada setiap individu guna mencapai pengalaman gerak yang seluas-luasnya. Pengalaman ini diharapkan dapat menunjang budaya aktif dalam setiap harinya yang bermuara pada kesehatan paripurna. Ditinjau dari kebijakan pemerintah tentang Penjasorkes disebutkan bahwa tujuan penjasorkes untuk pendidikan dasar dan menengah secara operasional telah disebutkan pada Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 yang memuat 7 (tujuh) butir yaitu agar peserta didik memiliki kemapuan sebagai berikut:
a) Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih.
b) Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang lebih baik.
c) Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar.
d) Meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.
e) Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis.
f) Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
g) Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil serta memiliki sikap yang positif.
Sedangkan menurut Lutan (2001) mengelompokkan tujuan pembelajaran pendidikan jasmani adalah:
a. Perkembangan Keterampilan Gerak
Perkembangan keterampilan gerak merupakan inti dari program pendidikan jasmani. Perkembangan keterampilan gerak bagi anak-anak pendidikan dasar diartikan sebagai perkembangan dan penghalusan aneka keterampilan gerak dasar dan keterampilan gerak yang berhubungan dengan olahraga. Keterampilan gerak tersebut selanjutnya dikembangkan dan diperhalus hingga taraf tertentu yang memungkinkan anak mampu untuk melaksanakannya dengan tenaga yang efisien dan sesuai dengan keadaan lingkunga dan tujuan yang dimaksud. Ketika anak telah memiliki keterampilan gerak dasar yang matang selanjutnya dapat menerapkan kedalam berbagai permainan, olahraga dan aktivitas jasmani yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum mencapai pada keterampilan gerak yang diinginkan, tentunya melalui tahapantahapan. Gabbard, LeBlanc, dan Lowy (1987) mengutarakan tahapan kerja motorik sebagi berikut;
Tabel 1.1. Tahapan Kerja Motorik
Terminal Tahapan gerak Aktivitas karakteristik
0-2 th, masa kanak-kanan Gerak tak sempurna Berguling, duduk, meratap, merangkak, berdiri, berjalan dan memegang
2-7 th, masa anak-anak awal Gerak dasar dan  pemahaman efisien Kesadaran gerak lokomotor, nirlokomotor dan manipulasif
8-12 th, masa anak-anak
  Khusus (khas)

  Penghalusan keterampilan dan penyadaran gerak, menggunakan gerak dasar, dalam tari, permainan/olahraga, senam dan olahraga air
12- dewasa, masa  remaja dan masa dewasa Spesialisasi Bersifat kompetisi dan rekreasi
Dengan demikian dapat dilihat pada umur berapakah anak dimulai masuk Sekolah dasar, jenis kemampuan motorik apakah yang telah dikuasai anak, dan jenis kemampuan motorik apakah yang harus dikembangkan oleh guru pendidikan jasmani? Oleh sebab itu maka harus terlebih dahulu mengetahui tipe gerak dasar yang berhubungan dengan keterampilan gerak menurut Lutan (2001) sebagai berikut:
Tabel 1.2. Tipe gerak dasar yang berhubungan dengan Keterampilan Gerak
Lokomotor      Manipulasi    Stabilitas (non lokomotor)
1. Dasar (satu elemen)
- Jalan,
- Lari,
- Jingkat
- Loncat   1. Melempar/meluncurka n objek:
- melempar
- menendang
- memukul
- memantul
- memvoli
- menggelundung 1. Bergerak dalam poros
- membungkuk
- meregang
- memutar
- melintir
- mengayun


2. Kombinasi (lebih dari
Satu elemen)
- meluncur
- memanjat 2. Menyerap daya Merangkap 2.  Poros tubuh statis & dinamis
- keseimbangan tegak
- keseimbangan sikaptubuh sungsang
- berkelok-kelok
- berguling
- berhenti
- bergerak cepat
Keterangan:
a) Gerak lokomotor merupakan aktivitas jasmani dimapa keadaan tubuh berpindah dariposisinya kjearah mendatar (horizontal) atau ke atas (vertikal) dari satu titik ketitik lainnya dalam sebuah ruang.
b) Gerak manipulatif merupakan aktivitas jasmani yang melibatkan upaya pengerahan pada suatu objek, dan upaya menerima daya dari objek.
c) Gerak stabilitas (non lokomotor)  merupakan aktivitas jasmani yang berupaya untuk menahan keseimbangan titik berat badan tetap jatuh pada bidang tumpu.

b. Perkembangan Kebugaran
Perkembangan kebugaran jasmani merupakan tujuan penting dalam program pendidikan jasmani di Sekolah Dasar. Istilah kebugaran disini mencakup bukan hanya kebugaran jasmani yang mendukung kesehatan, tetapi juga kebugaran yang mendukung peforma. Lutan (2001) membagi perkembangan kebugaran jasmani sebagai berikut:
a) Kebugaran terkait dengan kesehatan (Physical fitness) : (1) kekuatan otot, (2) Daya tahan otot, (3) Daya tahan aerobik, (4) Fleksibility.
b) Kebugaran terkait dengan peforma (motor fitness); (1) Kecepatan, (2) Koordinasi, (3) Agilitas, (4) Power, (5) Keseimbangan
Sehubungan dengan kebugaran jasmani yang berkaitan dengan kesehatan dimaksudkan bahwa penting untuk mendukung kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas sehari-hari tanpa kelelahan yang berlebihan sehingga masih memiliki energi untuk melakukan tugas berikutnya.
Sedangkan kebugaran yang berhubungan dengan performa disebut juga dengan istilah kebugaran motorik (motoric fitness) ditujukan pada kebugaran untuk melakukan tugas gerak dimana seseorang mampu melaksanakan tugas yang memerlukan keterampilan gerak.
c. Perkembangan Perseptual-motorik (kognitif)
Gerak perseptual menunjukkan kepada proses gerak yang dihasilkan melalui penerimaan dan pemilihan ransang. Proses penerimaan dan seleksi rangsang, hingga menghasilkan jawaban berupa gerak yang disebut persepsi. Pengalaman belajar yang terdiri atas pelaksanaan tugas gerak itu diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan seseorang. Pelaksanaan tugas gerak itu dapat merangsang simpul-simpul syaraf. Dengan kata lain rangsang untuk melaksanakan gerak itu memacu pertautan antara sinap dengan simpul syaraf, atau rangsangan dari lingkungan itu memperkuat kaitan antara sel-sel saraf dalam otak.
Perkembangan gerak perseptual berurusan dengan perkembangan dan penghalusan kepekaan kinestetik yang mencakup dunia ruang dan dunia waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Lutan (2001) terteng perkembangan gerak perseptuan sebagai berikut:
a) Kemampuan yang berkaitan dengan ruang; 1) Kesadaran tubuh, 2) Kesadaran ruang, dan 3) Kesadaran arah
b) Kemampuan yang berkaitan dengan waktu (tempo); 1) Sinkronisasi, 2) Irama, dan 3) Urutan rangkaian gerak
Dunia ruang dan waktu dimaksudkan bahwa semua gerak berlangsung dalam ruang dan terkait dengan waktu. Bagi anak-anak, untuk lebih mengenal ruang disekitarnya, mereka harus memperoleh kesempatan yang banyak untujk menjelajahi lingkungan sekitarnya. Pengalaman belajar harus banyak merangkan kesadarannya tentang tubuhnya, arah dan ruang tempat bergerak itu sendiri. Dunia temporal berkaitan dengan tempo pelaksanaan aktivitas jasmani yang ditujukan pada keselarasan (sinkronisasi), irama dan tata urut (sekuen).
d. Perkembangan Sosial Emosional
Salah satu dampak pembelajaran pendidikan jasmani adalah untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan penilaian positif terhadap kemampuan diri. Kesan ini sangat penting untuk ditumbuhan pada anak untuk menguasai tugas belajar, membangkitkan motivasi disamping efek psikologis lainnya yang mendorong keadaan sehat secara mental pada diri seseorang atau sejahtera secara mental atau batiniah. Didalamnya tercakup:
a. perasaan positif mengenai citra diri dan keadaan badan, peningkatan penilaian diri yang merasa makin mampu menyelesaikan tugas serta berprestasi,
b. Pengalaman sukses,
c. Peningkatan rasa percaya diri.
Manfaat dari segi sosial sangat banyak diperoleh dari program pendidikan jasmani. Melalui aktivitas jasmani atau kegiatan olahraga, seseorang memperoleh kesempatan untuk bergaul dan berinteraksi antara satu dengan lainnya. Sikap dan perilaku yang direstui mesyarakat dapat dibina melalui lingkungan olahraga. Demikian juga tentang nilai, sesuatu yang dianggap paling luhur dan menjadi rujukan atau pedoman perilaku. Dalam olahraga banyak nilai yang dapat ditanamkan kepada anak, misalnya toleransi antara sesama, gotong royong, menghargai kerja keras, mengutamakan mutu dan lainlain.
Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang. Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan.  Ada  tiga  hal  penting  yang  bisa  menjadi  sumbangan  unik  dari  pendidikan jasmani (Dauer and Pangrazy, 1992), yaitu:
a) meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan peserta didik,
b) meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta
c) meningkatkan pengertian peserta didik dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
Adapun dasar pemikiran yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan jasamani dan olahraga sebagai berikut:
Kebugaran dan kesehatan
Kebugaran dan kesehatan akan dicapai melalui program pendidikan jasmani yang terencana, teratur dan berkesinambungan. Dengan beban kerja yang cukup berat serta dilakukan dalam jangka waktu yang cukup secara teratur, kegiatan tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kemampuan fungsi organ-organ tubuh seperti jantung dan paru-paru. Sistem peredaran darah dan pernapasan akan bertambah baik dan efisien, didukung oleh sistem kerja penunjang lainnya.
Dengan bertambah baiknya sistem kerja tubuh akibat latihan, kemampuan tubuh akan meningkat dalam hal daya tahan, kekuatan dan kelentukannya. Demikian juga dengan beberapa kemampuan motorik seperti kecepatan, kelincahan dan koordinasi.
Keterampilan fisik
Keterlibatan anak dalam aktivitas permainan, senam, kegiatan bersama, dan lain-lain, merangsang perkembangan gerakan yang efisien yang berguna untuk menguasai berbagai keterampilan. Keterampilan tersebut bisa berbentuk keterampilan dasar misalnya berlari dan melempar serta keterampilan khusus seperti senam atau renang. Pada akhirnya keterampilan itu bisa mengarah kepada keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Terkuasainya konsep dan prinsip gerak
Pendidikan jasmani yang baik harus mampu meningkatkan  pengetahuan anak tentang konsep dan prinsip gerak. Pengetahuan tersebut akan membuat anak mampu memahami bagaimana suatu keterampilan dipelajari hingga tingkatannya yang lebih tinggi. Dengan demikian, seluruh gerakannya bisa lebih bermakna. Sebagai contoh, anak harus mengerti mengapa kaki harus dibuka dan bahu direndahkan ketika anak sedang berusaha menjaga keseimbangannya.  Mereka juga diharapkan mengerti mengapa harus dilakukan pemanasan sebelum berolahraga, serta apa akibatnya terhadap derajat kebugaran jasmani bila seseorang berlatih tidak teratur?
Kemampuan berpikir
Memang sulit diamati secara langsung bahwa kegiatan yang diikuti oleh anak dalam pendidikan jasmani dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Namun demikian dapat ditegaskan di sini bahwa pendidikan jasmani yang efektif mampu merangsang kemampuan berpikir dan daya analisis anak ketika terlibat dalam kegiatan-kegiatan fisiknya. Pola-pola permainan yang memerlukan tugas- tugas tertentu akan menekankan pentingnya kemampuan nalar anak dalam hal membuat keputusan.
Taktik dan strategi yang melekat dalam berbagai permainan pun perlu dianalisis dengan baik untuk membuat keputusan yang tepat dan cepat. Secara tidak langsung, keterlibatan anak dalam kegiatan pendidikan jasmani merupakan latihan untuk menjadi pemikir dan pengambil keputusan yang mandiri.
Dalam kegiatan pendidikan jasmani banyak sekali adegan  pembelajaran yang memerlukan diskusi terbuka yang menantang penalaran anak. Teknik gerak dan prinsipprinsip yang mendasarinya merupakan topik-topik yang menarik untuk didiskusikan. Peraturan permainan dan variasi-variasi gerak juga bisa dijadikan rangsangan bagi anak untuk memikirkan pemecahannya.
Kepekaan rasa
Dalam hal olah rasa, pendidikan jasmani menempati posisi yang sungguh unik. Kegiatannya yang selalu melibatkan anak dalam kelompok kecil maupun besar merupakan wahana yang tepat untuk berkomunikasi dan bergaul dalam lingkup sosial.
Dalam kehidupan sosial, setiap individu akan belajar untuk bertanggung jawab melaksanakan peranannya sebagai anggota masyarakat. Di dalam masyarakat banyak norma yang harus ditaati dan aturan main yang melandasinya. Melalui penjas, norma dan aturan juga dipelajari, dihayati dan diamalkan.
Untuk dapat berperan aktif, anak pun akan menyadari bahwa ia dan kelompoknya harus menguasai beberapa keterampilan yang diperlukan. Sesungguhnyalah bahwa kegiatan pendidikan jasmani disebut sebagai ajang nyata untuk melatih keterampilanketerampilan hidup (life skills), agar seseorang dapat hidup berguna dan tidak menyusahkan masyarakat.
Keterampilan sosial
Kecerdasan emosional atau keterampilan hidup bermasyarakat sangat mementingkan kemampuan pengendalian diri. Dengan kemampuan ini seseorang bisa berhasil mengatasi masalah dengan kerugian sekecil mungkin. Anak yang rendah kemampuan pengendalian dirinya biasanya ingin memecahkan masalah dengan kekerasan dan tidak merasa ragu untuk melanggar berbagai ketentuan.
Pendidikan jasmani menyediakan pengalaman nyata untuk melatih keterampilan mengendalikan diri, membina ketekunan dan motivasi diri. Hal ini diperkuat lagi jika proses pembelajaran direncanakan sebaik-baiknya. Setiap adegan pembelajaran dalam permainan dapat dijadikan arena dialog dan perenungan tentang apa sisi baik-buruknya suatu keputusan. Tak pelak, ini merupakan cara pembinaan moral yang efektif.
Sebagai contoh, jika dalam sebuah proses penjas terjadi pertengkaran antara dua orang anak, guru bisa segera menghentikan kegiatan seluruh kelas dan mengundang mereka untuk membicarakannya. Sebab-sebab pertengkaran diteliti dan guru memancing pendapat anak tentang apa perlunya mereka bertengkar, selain itu mereka dirangsang untuk mencari pemecahan yang paling baik untuk kedua belah pihak.
Kepercayaan diri dan citra diri (self esteem)
Melalui pendidikan jasmani kepercayaan diri dan citra diri (self esteem) anak akan berkembang (Graham, 1993). Secara umum citra diri diartikan sebagai cara kita menilai diri kita sendiri. Citra diri ini merupakan dasar untuk perkembangan kepribadian anak. Dengan citra diri yang baik seseorang merasa aman dan berkeinginan untuk mengeksplorasi dunia. Dia mau dan mampu mengambil resiko, berani berkomunikasi dengan teman dan orang lain, serta mampu menanggulangi stress.
Cara membina citra diri ini tidak cukup hanya dengan selalu berucap “saya pasti bisa” atau “saya paling bagus”. Tetapi perlu dinyatakan dalam usaha dan pembiasan perilaku.
Di situlah penjas menyediakan kesempatan pada anak untuk membuktikannya.
Ruang lingkup Pendidikan Jasmani
Ruang lingkup mata pelajaran Pendiidikan Jasmani, Olahraga dan  Kesehatan untuk meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1. Permainan dan olahraga meliputi: olahraga tradisional, permainan. eksplorasi gerak, keterampilan lokomotor non-lokomotor,dan manipulatif, atletik, kasti, rounders, kippers, sepak bola, bola basket, bola voli, tenis meja, tenis lapangan, bulu tangkis, dan beladiri, serta aktivitas lainnya.
2. Aktivitas pengembangan meliputi: mekanika sikap tubuh, komponen kebugaran jasmani, dan bentuk postur tubuh serta aktivitas lainnya.
3. Aktivitas senam meliputi: ketangkasan sederhana, ketangkasan tanpa alat, ketangkasan dengan alat, dan senam lantai, serta aktivitas lainnya.
4. Aktivitas ritmik meliputi: gerak bebas, senam pagi, SKJ, dan senam aerobic serta aktivitas lainnya.
5. Aktivitas air meliputi: permainan di air, keselamatan air, keterampilan bergerak di air,  dan renang serta aktivitas lainnya.
6. Pendidikan luar kelas, meliputi: piknik/karyawisata, pengenalan lingkungan, berkemah, menjelajah, dan mendaki gunung.
7. Kesehatan, meliputi penanaman budaya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait dengan perawatan tubuh agar tetap sehat, merawat lingkungan yang sehat, memilih makanan dan minuman yang sehat, mencegah dan merawat cidera, mengatur  waktu istirahat yang tepat dan berperan aktif dalam kegiatan  P3K dan UKS.
Aspek kesehatan merupakan aspek tersendiri, dan secara implisit masuk ke dalam semua aspek.

2.  Pendidikan Olahraga
Ada kesalahpahaman bahwa pendidikan jasmani sama dengan pendidikan olahraga. Keduanya berbeda, pendidikan jasmani lebih menekankan pada pengembangan keterampilan motorik dasar dan memperkaya perbendaharaan gerak. Pendidikan olahraga menekankan pada pembinaan keterampilan berolahraga dan menghayati nilai-nilai yang diperoleh dari kegiatan berlatih dan bertanding(Jewet, 1994; Jewet et al., 1995). Semua anak dibekali pengalaman nyata untuk berperan dalam pembinaan olahraga, seperti wasit, atlet, atau pelatih.
Pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabangcabang olahraga tertentu. Kepada peserta didik diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini adalah „ hasil „ dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri-ciri pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran.
Yang sering terjadi pada pembelajaran „pendidikan olahraga„ adalah bahwa guru kurang memperhatikan kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Jika peserta didik harus belajar bermain bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung. Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang diperhatikan.
Guru demikian akan berkata: “kalau perlu tidak usah ada pentahapan, karena anak akan dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola, dan instruksikan anak supaya bermain langsung”. Anak yang sudah terampil biasanya dapat menjadi contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demonstrasi temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada ungkapan: “Kalau anda ingin anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam yang paling dalam, dan mereka akan bisa sendiri.

3. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses yang menjembatani kesenjangan antara informasi dan tingkah  laku kesehatan.  Pendidikan kesehatan memotivasi seseorang untuk menerima informasi kesehatan dan berbuat sesuai dengan informasi tersebut agar mereka menjadi lebih tahu dan lebih sehat (Budioro,1998).
Pendidikan kesehatan merupakan proses belajar, dalam hal ini berarti terjadi proses perkembangan atau perubahan kearah yang lebih tahu dan lebih baik pada diri individu. Pada kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai- nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi sendiri masalah- masalah kesehatan menjadi mampu (Purwanto, 1999).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan kesehatan adalah usaha yang diberikan berupa bimbingan atau tuntunan kepada seseorang atau anak didik tentang kesehatan yang meliputi aspek pribadi (fisik, mental, social) agar dapat berubah dan berkembang secara harmonis
Tujuan Pendidikan Kesehatan
Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan  mencegah  timbulnya  penyakit,  mempertahankan  derajat  kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan.
Secara umum tujuan dari pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat dibidang kesehatan. Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut antara lain, menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai dimasyarakat, menolong indiviu agar mampu secara mandiri atau kelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat, mendorong pengembangan dan menggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada (Herawani, 2001).
Sedangkan menurut Machfoed (2005), pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan, yang bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan masyarakat menuju hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar. Perubahan tersebut mencangkup antara lain pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui proses pendidikan kesehatan. Pada hakikatnya dapat berupa emosi, pengetahuan, pikiran keinginan, tindakan nyata dari individu, kelompok dan masyarakat. Pendidikan kesehatan merupakan aspek penting dalam meningkatkan pengetahuan keluarga tentang garam beryodium dengan melakukan pendidikan kesehatan berarti petugas kesehatan membantu keluarga dalam mengkonsumsi garam yang beryodium untuk meningkatkan derajat kesehatan.
Dari pandangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan bertujuan :
1) Meningkatkan pengetahuan anak didik tentang ilmu kesehatan, termasuk cara hidup sehat dan teratur
2) Menanamkan dan membina nilai dan sikap mental yang positif terhadap prinsip hidup sehat
3) Menanamkan dan membina kebiasaan hidup sehat sehari-hari yang sesuai dengan syarat kesehatan
4) Meningkatkan keterampilan anak didik dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan pemeliharaan, pertolongan dan perawatan kesehatan
Proses Pendidikan Kesehatan
Dalam proses pendidikan kesehatan terdapat tiga persoalan pokok yaitu masukan (input), proses dan keluaran (output). Masukan (input) dalam pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu individu, kelompok dan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya. Proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan dan perilaku pada diri subjek belajar. Dalam proses pendidikan kesehatan terjadi timbal balik berbagai faktor antara lain adalah pengajar, teknik belajar dan materi atau bahan pelajaran. Sedangkan keluaran merupakan kemampuan sebagai hasil perubahan yaitu perilaku sehat dari sasaran didik melalui pendidikan kesehatan (Notoatmodjo,2003)


B. Olimpiade dan Nilai-nilai Olahraga
Sejarah olimpiade kuno telah menorehkan filosofi yang amat dalam tentang olahraga di dunia. Hal ini sangat diyakini sebagai alat pemersatu bangsa dalam perdamaian dunia yang utuh tanpa diskriminasi warna kulit, strata, agama, budaya, dan sebagainya.
Filosofi olahraga yang berasal dari serangkaian kegiatan religi bangsa Yunani, yang ditutup dengan pertandingan olahraga sebagai puncak persembahannya kepada dewa Zeus. Dalam sejarah dikisahkan bahwa peserta lomba harus bertelanjang bulat sebagai bentuk persembahan kesucian di depan sang Dewa, terlebih ketika Sang Juara Olimpiade pada saat itu mampu menghentikan peperangan yang sedang bergejolak. Hal ini menjadi suatu pertanda bahwa olahraga saat itu diyakini sebagai alat perdamaian dan alat pemersatu antar suku.
Dari kisah tersebut tergores pesan-pesan yang dalam bahwa olahraga adalah aktivitas yang luar biasa, yang mampu mengasah dan menguji kemampuan individu dalam sebuah persaingan yang ketat (excellent), juga sebagai aktivitas kesucian yang mampu mendamaikan perselisihan demi persahabatan abadi (friendsip dan respect).
Baron Piere de Coubertin adalah bangsawan Prancis yang juga sebagai arkeolog, adalah orang yang telah berjasa menggali kembali nilai-nilai olimpiade ini. Pandangan dan idenya kini menjadi kegiatan yang mendunia dan impian semua olahragawan.
Tahun 1896 Coubertin menggagas kembali olimpiade namun dengan sebuah bingkai yang kokoh dalam bentuk piagam Olimpiade (Olympic charter), agar pelaksanaan pertandingan olahraga tidak menyimpang dari sejatinya olahraga, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai Olimpiade yakni respect, excellent dan friendsip.
Sejak tahun itulah Olimpiade modern yang kita kenal sekarang ini terus bergulir. Tahun 1896 itu, Cobertin sudah menduga jika kegiatan olahraga tidak diberikan bingkai yang kuat, maka olahraga akan dijadikan alat tunggangan politik, mencari kekuasaan, mencari dan mengejar kemenangan semata, perjudian, yang akan berakhir dengan peperangan.
Hingga saat ini sudah lebih dari 100 tahun, ide Coubertin terus bergulir dan semakin berkembang. Seperti dikatakan di atas bahwa adanya Olympic charter (piagam olimpiade) adalah untuk mengatur segala organisasi, tindakan dan pelaksanaan gerakan olimpiade (Olympic movement).
Dalam buku Sport Administration Manual yang dikeluarkan oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) menyebutkan bahwa Coubertin pulalah yang menciptakan bendera olimpiade dengan lima cincinnya (five rings), lagu resmi Olimpiade dan api serta obor Olimpiade. Sebagaimana peraturan piagam olimpiade tahun 2010, semua pihak atas property Olimpiade ini secara ekslusif menjadi milik IOC, termasuk tapi tidak terbatas penggunaannya untuk tujuan-tujuan mendapatkan keuntungan komersial atau periklanan. IOC dapat melisensikan semua atau sebagian dari haknya dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Dewan Eksekutif IOC.
Cincin-cincin Olimpiade, secara resmi disebut simbol Olimpiade, tetapi juga disebut sebagai cincin-cincin Olimpiade, yang melambangkan kegiatan gerakan Olimpiade dan mewakili persatuan lima benua dan pertemuan para atlet dari seluruh dunia dalam Olimpiade. Sedangkan warna-warna dari cincin-cincin Olimpiade tersebut, secara berturut-turut adalah biru, kuning, hitam, hijau dan merah. Warna-warna yang dipilih oleh Coubertin ini adalah warna untuk bendera-bendera negara-negara di dunia, dan bukan warna-warna yang menunjukan benua-benua di dunia seperti kesalahan selama ini. (dikutip dari Maryana (2014)

C. Perbedaan Dan Persamaan Pendidikan Jasmani, Pendidikan Olahraga Dan Pendidikan Kesehatan.
Pertanyaan tentang perbedaan Pendidikan jasmani dan olahraga bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab baik oleh pemerhati olahraga maupun para pakar pendidikan. Hal ini terjadi karena aktivitas yang nampak diantara keduanya memiliki kesamaan yaitu permainan dan aktivitas fisik. Jadi pertanyaanya “Apa perbedaan Pendidikan Olahraga dan Pendidikan Jasmani” akan tetapi pendidikan kesehatan definisinya sangat jelas berbeda karena tidak terdapat kesamaan permainan dan aktivitas fisik. Tetapi konsep dasarnya pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan dasar keilmuannya (basic of knowledge) adalah mendidik manusia melalui aktivitas jasmani, olahraga maupun kesehatan.
Sebenarnya pendidikan jasmani dan olahraga tak dapat dipisah. Meskipun berbeda istilah dan arti, tetapi mempunyai tujuan yang saling melengkapi. Hal ini dapat kita simak dalam latar belakang Permendiknas no 22 Tahun 2006 yaitu “Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan terpilih yang direncanakan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional”.
Akan tetapi dalam Pembinaan dan pengembangan olahraga merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang ditujukan pada peningkatan jasmani dan rokhani, pemupukan watak, disiplin, dan sportivitas, serta pengembangan prestasi olahraga yang dapat membangkitkan rasa kebanggaan nasional. Untuk itu pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan perlu dioptimalkan.
Telah banyak diketahui bahwa masih banyak kesalahan persepsi tentang pendidikan jasmani dan olahraga. Ada yang beranggapan bahwa pendidikan jasmani sama dengan olahraga. Apakah anda setuju? Bila anda menganggukkan kepala berarti anda harus belajar memahami perbandingan jasmani dan olahraga secara lebih mendalam lagi, karena anda memilih jawaban yang salah. Pendidikan jasmani berbeda dengan olahraga. Berikut akan ditinjau lebih dalam tentang perbedaan pendidikan jasmani dan olahraga, yaitu:
a. Aspek Aktivitas
Aktivitas pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan, sedangkan olahraga terbatas pada aktivitas olahraga itu sendiri. Selain aktivitas ritmik, aquatik, outbound, permainan dan aktivitas pengembangan tubuh maka aktivitas olahraga merupakan  salah satu bentuk dari aktivitas pendidikan jasmani. Dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup aktivitas pendidikan jasmani lebih luas dan beragam daripada aktivitas olahraga.
b. Aspek Pusat Materi (Konsentrasi Utama)
Maksud dari kata pusat materi adalah fokus/ konsentrasi utama dari aktivitas. Secara mudah dapat dijelaskan dengan “Apa yang diinginkan melalui aktivitas ini?”. Pusat materi  pada olahraga adalah bagaimana agar seseorang tersebut mampu memahami dan mempraktekkan teknik–teknik cabang olahraga secara benar dan tepat untuk mencapai tujuan olahraga. Jadi pada olahraga, mau tidak mau harus dapat melakukan teknik-teknik olahraga tersebut. Apabila ia belum mampu, maka  ia harus berlatih meningkatkan teknik yang dimilikinya. Sebagai contoh : Target waktu lari 100 M putra adalah dibawah 10 detik, maka mau tidak mau seseorang tersebut harus terus dan terus berlatih untuk dapat berlari sprint 100 M dengan catatan waktu dibawah 10 detik. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pusat materi pada olahraga adalah olahraga itu sendiri.
Tabel 1.3. Perbandingan Pendidikan Jasmani dan Olahraga (Nurhasan, 2005)
No Pendidikan Jasmani Olahraga
1 Diselenggarakan terutama di
lingkungan sekolah Terutama di luar sekolah dan masyarakat
2 Mengacu pada pembinaan hidup sehat Pembinaan dan peningkatan prestasi
3 Mata ajar wajib di sekolah Sukarela di masyarakat
4 Dikelola di bawah wewenang
Mendiknas   Menpora bersama organisasi olahraga
5 Cenderung memasyarakatkan olahraga Mengolahragakan masyarakat

Tujuan pendidikan jasmani diarahkan untuk pengembangan individu anak secara menyeluruh, artinya meliputi aspek organik, motorik, emosional, dan intelektual sedangkan pada olahraga kompetitif terbatas pada pengembangan aspek kinerja motorik yang dikhususkan pada cabang olahraga tertentu saja
Aktivitas yang dilakukan pada pendidikan jasmani bersifat multilateral, artinya seluruh bagian dari tubuh peserta didik dikembangkan secara proporsional mulai dari tubuh bagian atas (upper body), bagian tubuh tengah (torso), maupun bagian bawah (lower body). Pendidikan jasmani berupaya mengembangkan kinerja anggota tubuh bagian kanan maupun kiri secara seimbang dan koordinatif. Pada olahraga kompetitif hanya bagian tubuh tertentu sesuai dengan fungsi kecabangannyalah yang dikembangkan secara optimal atau secara populer disebut sebagai spesifik.
Child oriented, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti berorientasi pada anak memiliki makna bahwa penjas dengan segala aktivitasnya diberikan berdasarkan kebutuhan yang diperlukan oleh anak dengan segala perbedaan karakternya. Dengan pertimbangan ini maka kegiatan pendidikan jasmani dirancang sebagai proses dalam pemenuhan kebutuhan anak dalam kehidupan sehari-harinya, kebutuhan kompetitif dalam menghadapi segala tantangan, dan pengisian waktu luangnya. Pada cabang olahraga kompetitif hal tersebut tentu bukan merupakan pertimbangan yang utama, karena yang terpenting pada olahraga kompetitif adalah dikuasainya gerak atau teknik dasar beserta pengembangannya untuk mendukung permainan pada cabang tersebut, sehingga materi disajikan sebagai pemenuhan atas kepentingan itu (materi) atau disebut sebagai subject/material oriented.
Pada pendidikan jasmani seluruh kegiatan yang ada di alam semesta yang berupa kegiatan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang dilakukan oleh manusia, binatang, tumbuhan, atau bahkan mesin yang bergerak. Aktivitas yang dapat digunakan sebagai materi gerak dalam olahraga kompetitif adalah terbatas pada teknik-teknik yang ada pada olah yang bersangkutan, atau pada spesifik pada spesialis kecabangannya.
Seluruh anak memiliki tingkat kecepatan yang bervariasi dalam pembelajaran, termasuk di dalamnya pembelajaran penjas. Anak dengan kecepatan pembelajaran yang kurang baik (lamban) harus diperhatikah secara lebih khusus sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Pada olahraga kompetitif, anak yang memiliki kelambanan ini akan ditinggalkan karena hanya menghambat proses pembelajaran, dan mengganggu pencapaian prestasi tinggi yang diinginkan.
Aturan yang baku diterapkan pada olahraga kompetitif agar terdapat keadilan bagi tim yang melakukan pertandingan dalam situasi yang sama. Pendidikan jasmani tidak harus dilakukan dengan menggunakan pertandingan, melainkan dengan bermain, dengan pembelajaran berkelompok, demonstrasi, dan lain-lain sehingga tidak diperlukan peraturan yang baku sebgaimana olahraga kompetitif.
Perbedaan lain antara penjas dan olahraga kompetitif adalah pada aspek talent scouting, di mana dalam penjas hanya dijadikan sebagai dasar dalam masukan awal (entry behaviour) sedangkan pada olahraga kompetitif dijadikan rekomendasi dalam menentukan cabang olahraga spesialis yang akan diikuti oleh anak.
Sehubungan hal di atas sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Abdul Kadir Ateng, dalam mata kuliah azas dan falsafah pendidikan olahraga tentang proposi olahraga dan pendidikan jasmani di sekolah, adalah sebagai berikut:
Tabel 1.4. Proporsi Olahraga dan Pendidikan Jasmani
Komponen Pendidikan Jasmani Olahraga
Tujuan Pendidikan keseluruhan, kepribadian dan emosional Kinerja motorik (motor performance/kinerja gerak
untuk prestasi
Materi Child centered (sesuai  dengan kebutuhan anak/individualized)       Subject centered (berpusat pada materi)
Teknik gerak Seluas gerak kehidupan seharihari Fungsional untuk cabang olahraga bersangkutan
Peraturan Disesuaikan dengan keperluan (tidak dibakukan) Peraturannya baku (standar) agar dapat dipertandingkan
Anak yang   lamban Harus diberi perhatian ekstra Ditinggalkan/untuk milih cabang olahraga lain
Talent Scouting (TS) Untuk mengukur kemampuan awal Untuk cari atlit berbakat
Latihannya Mutilateral (latihan yang menyangkut semua otot) Spesifik
Partisipasi Wajib Bebas
  Perbedaan pendidikan jasmani dengan olahraga akan terlihat pada berbagai aktivitas jasmani.
Berikut disajikan perbedaan aktivitas jasmani pada pendidikan jasmani dan olahraga.
Tabel 1.5. Contoh Perbedaan aktivitas jasmani pada Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Pendidikan Jasmani Olahraga
Berjalan
Pembelajaran berjalan pada pendidikan jasmani ditujukan pada usaha untuk membentuk sikap dan gerak tubuh yang sempurna. Pembelajaran biasanya dilakukan melalui materi baris-berbaris Berjalan
Berjalan pada olahraga merupakan salah satu nomor dalam cabang atletik. Latihan berjalan dilakukan dengan secepat-cepatnya melalui
teknik dan peraturan yang telah baku
Lari
Materi lari pada pendidikan jasmani dimaksudkan untuk dapat mengembang-kan keterampilan gerak berlari dengan baik. Berlari dapat dilakukan dalam beberpa teknik; lari zigzag, lari kijang, lari kuda, dan beberapa teknik lari lainnya Lari
Lari pada olahraga merupakan salah satu nomor dalam cabang atletik. Latihan dilakukan untuk mencapai prestasi optimal. Dalam cabang atletik lari dibagi dalam beberapa nomor.
Lompat
Materi lompat dalam pendidikan jasmani dimaksudkan untuk dapat mengembangkan keterampilan gerak lompat dengan baik. Lompat dapat dilakukan dalam beberapa teknik ; lompat harimau, lompat kodok, dan beberpa teknik lompat lainnya. Lompat
Lompat pada olahraga merupakan salah satu nomor dalam cabang atletik. Latihan lompat pada cabang atletik dilakukan untuk mencapai prestasi optimal
Lempar
Materi lempar dalam pendidikan jasmani dimaksudkan untuk dapat mengembangkan ketermapilan gerak lempar dengan baik. Melempar dapat dilakukan dengan beberapa teknik; lempar bola, lempar sasaran, dan beberpa teknik lempar lainnya. Lempar
Lempar dalam olahraga merupakan salah satu nomor dalam cabang atletik. Latihan lempar pada cabang atletik dilakukan untuk mencapai prestasi optimal.

D. Persfektif Sejarah Pada Pendidikan Jasmani dan Olahraga 1. Perkembangan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan di   Indonesia
Tahukah bahwa di Belanda, biaya perawatan kesehatan meningkat 2,5 persen,  di kanada 6 (enam) persen,  dan di Amerika mencapai 8 persen. Hal ini diakibatkan warga masyarakat kurang melakukan aktivitas jasmani (Rusli Lutan, 2001: 16). Secara ekonomi keadaan tersebut dianggap sebagai ancaman yang merugikan. Karena selain bisa menurunkan produktivitas kerja juga bisa meningkat biaya perawatan kesehatan. Di Indonesia sendiri keadaan tersebut juga telah berkembang dalam jangkauan yang luas.  Kadaan itu terjadi terutama di kota-kota bahkan kini sudah sampai ke desa-desa.
Jasmani dalam sebutan bahasa Inggris adalah physical, dalam ilmu faal, jasmani disebut sebagai struktur biologik pada manusia. Secara umum dipahami bahwa jasmani atau jasad ia berarti tubuh manusia. Jasmani dalam pembahasan ini adalah pemanfaatan aktivitas fisik sebagai manifestasi pengembangan kualitas hidup manusia dalam memenuhi kebugaran secara totalitas dan keterampilan motorik. Jasmani disinonimkan dengan pendidikan, maka segala aktivitas jasmani membawa nilai-nilai pendidikan, yang tidak terikat ataupun tertuju kepada gerakan-gerakan dalam peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang umum berlaku seperti olahraga.
Dengan demikian, pendidikan jasmani adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan  motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan belajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh rana, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif setiap siswa.
Menurut Jesse Feiring Williams dalam William H. Freeman (2001:3) pendidikan Jasmani adalah tentang sejumlah aktivitas-aktivitas fisik manusia yang dipilih, dan dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai hasil yang bermanfaat bagi tubuh. William menekankan satu hal bahwa walaupun pendidikan jasmani diartikan mengajar dengan fisik, melalui penggunaan aktivitas-aktivitas fisik, tujuannya adalah melampaui fisik tersebut. Selanjutnya (Kepmendikbud Nomor 413/u/2004) bahwa pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, neuromuscular, intelektual dan emosional melalui aktivitas fisik. Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. (Agus Mahendra, 2009: 24).
Husdarta (2009: 17) mengemukakan pendidikan jasmani merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Artinya pendidikan jasmani bukan hanya dekorasi atau ornament yang ditempel pada program sekolah sebagai alat untuk membuat anak sibuk. Sedangkan pengertian olahraga berdasarkan (pasal 1 ayat 4 UU RI No. 3 Tahun 2005) olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong,  membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani,  dan sosial. Dari ketentuan Internasional Council of Sport and Physical Education adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan dan berisikan pertandingan melawan orang lain, diri sendiri ataupun unsur-unsur alam dikatakan sebagai olahraga atau sport. Jadi antara pendidikan jasmani dan olahraga sering dikatakan  ada interface, tidak sama namun ada bagian-bagian yang sama. Jelas keduanya adalah aktivitas fisik, tegasnya aktivitas otot-otot besar  atau big muscle activity, bukan fine muscle activity. Oleh karena itu, dalam penerapannya tetap berlandaskan pada suasana kependidikan, serta berpegang pada kaidah-kaidah dalam praktek pendidikan. Adapun pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang olahraga tertentu.
Di Amerika Serikat pendidikan jasmani menurut Nixon dan Jewet adalah satu aspek dari proses pendidikan keseluruhan yang berkenaan dengan perkembangan dan penggunaan kemampuan gerak individu yang sukarela dan berguna serta berhubungan langsung dengan respon mental, emosional dan sosial. Konsep pendidikan jasmani yang diuraikan Nixon dan Jewet, dapat dikatakan searah dengan pemahaman di Indonesia yang diuraikan Rusli Lutan (2001: 18), bahwa pendidikan jasmani sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin dalam konteks pendidikan jasmani yang mengandung isi pendidikan melalui aktivitas jasmani. Karenanya konsep pendidikan jasmani perlu dikuasai oleh para calon guru (siswa penjas) dan guru yang bersangkutan, sehingga dalam penerapannya memperlihatkan kesetaraan pemahaman.
Selain itu diharapkan dapat melakukan pemetaan konsep dalam penerapan pendidikan jasmani berdasarkan jenjang pendidikan (kesesuaian kurikulum pendidikan jasmani), termasuk memaksimalkan potensi-potensi lokal, dalam hal ini permainan tradisional yang dapat dimodifikasi. Sebagai batasan atau rumusan dari konsep pendidikan jasmani, Arma Abdoellah (2003;42) menguraikan sebagai salah satu aspek dari proses pendidikan keseluruhan peserta didik melalui kegiatan jasmani yang dirancang secara cermat, yang dilakukan secara sadar dan terprogram dalam usaha meningkatkan kemampuan dan keterampilan jasmani dan sosial serta perkembangan kecerdasan. Esensi dari substansi pendidikan jasmani ialah pengetahuan tentang gerak insani dalam konteks pendidikan yang terkait dengan semua aspek pengetahuan yang berlangsung secara didaktik, rekreatif, untuk dipahami dan dapat dilakukan oleh peserta didik secara utuh.
Oleh karena itu, pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang didesain untuk meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan aktif, sikap sportif, dan kecerdasan emosi. Lingkungan beIajar diatur secara seksama untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan seluruh ranah, jasmani, psikomotor, kognitif, dan afektif setiap siswa.
Tujuan akhir pendidikan jasmani dan olahraga terletak dalam peranannya sebagai wadah unik. Penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia. Jadi orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna. (Baron Piece de Coubertin, Penggagas Kebangkitan Olympiadse Modern, Perancis).
Posisi pendidikan jasmani dan olahraga pada kedudukan yang amat strategis yakni sebagai alat pendidikan, sekaligus pembudayaan, karena kedua istilah yang amat dekat dan erat. Maknanya tidak lain adalah sebagai proses pengalihan dan penerimaan nilai-nilai. Dalam konteks keolahragaan secara menyeluruh, memang kian kita sadari perubahan  yang terjadi sebagai dampak dari globalisasi dalam ekonomi yang dipacu oleh teknologi komunikasi juga terbawa dalam dunia olahraga (Coomb 2004:7). Dengan demikian, yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga yaitu: (1) pendidikan merupakan upaya penyiapan peserta didik menghadapi dan berperan dalam lingkungan hidup yang selalu berubah dengan cepat dan pluralistik; (2) pendidikan merupakan upaya peningkatan kualitas kehidupan pribadi masyarakat dan berlangsung seumur hidup; (3) pendidikan merupakan mekanisme sosial dalam mewariskan nilai, norma, dan kemajuan yang telah dicapai masyarakat; (4) pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya; (5) dalam undang – undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk rnemiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah: "Apakah pendidikan jasmani?" Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru pendidikan jasmani, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984,  menjadi pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan (penjaskes) dalam kurikulum 1994. Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbecla pula.
Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani?
Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa? Paling tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial. Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama.
Sedangkan pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang olahraga tertentu. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini adalah hasil dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri-ciri pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran. Dengan proses tersebut, dapat memberikan kekeliruan yang berlarut-larut dalam proses pendidikan jasmani di Indonesia.
Sering terjadi pada pembelajaran pendidikan olahraga adalah bahwa guru kurang memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar bermain bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung. Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang diperhatikan, kejadian tersebut merupakan salah satu kelemahan dalam pendidikan olahraga. Guru demikian akan berkata: "kalau perlu tidak usah ada pentahapan, karena anak akan dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola, dan instruksikan anak supaya bermain langsung". Anak yang sudah terampil biasanya dapat menjadi contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demonstrasi temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada ungkapan: Kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam yang paling dalam, dan mereka akan bisa berenang sendiri.
Pendidikan jasmani tentu tidak bisa dilakukan dengan cara demikian. Pendidikan jasmani adalah suatu proses yang terencana dan bertahap yang perlu dibina secara hati-hati dalam waktu yang diperhitungkan. Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan.
Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal, karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah. Anak-anak yang berhasil akan merasa puas dari cara latihan tadi, dan segera menyenangi permainan sepak bola.
Lain lagi  dengan anak-anak lain yang kurang berhasil? Mereka akan serta merta merasa bahwa permainan sepak bola terlalu sulit dan tidak menyenangkan, sehingga mereka tidak menyukai pelajaran dan permainan sepak bola tadi. Apalagi bila ketika mereka melakukan latihan yang gagal tadi, mereka selalu diejek oleh teman-teman yang lain atau bahkan oleh gurunya sendiri. Anak-anak dalam kelompok gagal ini biasanya mengalami perasaan negatif. Akibatnya, citra diri anak tidak berkembang dan anak cenderung menjadi anak yang rendah diri.
Melalui pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif, semua kecenderungan tadi bisa dihapuskan, karena guru memilih cara agar anak yang kurang terampil pun tetap menyukai latihan memperoleh pengalaman sukses. Di samping guru membedakan bentuk latihan yang harus dilakukan setiap anak, kriteria keberhasilannya pun dibedakan pula. Untuk kelompok mampu kriteria keberhasilan lebih berat dari anak yang kurang mampu, misalnya dalam pelajaran renang di tentukan: mampu meluncur 10 meter untuk anak mampu, dan hanya 5 meter untuk anak kurang mampu.
Dengan cara demikian, semua anak merasakan apa yang disebut perasaan berhasil tadi, dan anak makin menyadari bahwa kemampuannya pun meningkat, seiring clengan seringnya mereka mengulang-ulang latihan. Cara ini disebut gaya mengajar partisipatif karena semua anak merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran.
Untuk mencegah terjadinya bahaya lain dari kegagalan, guru pendidikan jasmani dan olahraga harus mengembangkan cara respon siswa terhadap anak yang gagal dan melarang siswa untuk melemparkan ejekan pada temannya. Sebagai konsep pelaksanaan pendidikan jasmani dan olahraga di Indonesia, maka diilustrasikan dalam bagan berikut ini.
Kemana arah pembinaan pendidikan  jasmani? Tujuan jangka panjang pendidikan jasmani adalah sebagi berikut:
a. Kegiatan itu dimaksudkan untuk menghasilkan insan yang berpendidikan dan berpandangan bahwa aktivitas jasmani ini bernilai, bermanfaat, dan dapat dilakukan di sepanjang hayat.
b. Melalui proses pendidikan tersebut juga dihasilkan insan yang dapat memahami bagaiman membuat rencana kegiatan dan melasanakannya, baik untuk keperluan sendiri secara perorangan maupun keperluan kelompok.
c. Untuk menghasilkan seseorang yang terampil menciptakan peluang dan memanfaatkannya dalam rangka pembinaan kebugaran jasmani.
Kemampuan mengatasi stress dan hambatan juga menjadi tujuan akhir.
Bertitik tolak dari pandangan falsafah tersebut, sebagai guru pendidikan jasmani, kita perlu memahami kaidah pengembangan program pendidikan jasmani yang seimbang. Adapun kaidah-kaidah  yang dimaksud  adalah  sebagai berikut :
a. Menyediakan waktu yang cukup bagi anak untuk melalukan aktivitas jasmani.
b. Menyediakan kesempatan bagi setiap anak untuk memenuhi kebutuhan secara perorangan yang memang berbeda-beda.
c. Menyediakan aneka kegiatan dan memberikan bimbingan sesuai dengan pilihan siswa.
d. Memberikan informasi umpan balik kepada anak, baik mengenai proses maupun hasilnya.
e. Membekali siswa dengan keterampilan dasar termasuk pengayaan keterampilan dalam rangka meningkatkan kebugaran jasmani.
f. Menjadikan diri sebagai guru pendidikan jasmani yang pantas sebagai panutan bagi siswa.
g. Memberikan perhatian penuh bagi perkembangan anak secara menyeluruh, termasuk sikap dan perlakuannya terhadap aktivitas jasmani yang dilaksanakan secara teratur dan berkesinambungan.
h. Menggunakan strategi yang tepat untuk membentuk pola hidup sehat.
i. Menggunakan gaya hidup aktif dan pelaksanaan aktivitas jasmani di luar pendidikan jasmani disekolah.
j. Menghindari ucapan yang menyatakan bahwa aktivitas jasmani itu hanyalah membuang-buang waktu, dan sia-sia belaka.
Sesuai dengan kodratnya, anak senang bermain. Ia senang melampiaskan kebebasannya untuk bergerak. Melalui bermain, anak disiapkan untuk menghadapi kehidupan nyata.
Bermain mengajarkan kenyataan hidup. Untuk mencapai hal ini, maka perlu penyiapan strategi pengembangan program yang sistematis dan berkesinambungan. Sehingga  tujuan betul-betul dapat tercapai dengan maksimal sesuai apa yang diharapkan.
2. Manfaat Sejarah Keolahragaan dan PJOK dalam Penanaman Sikap Peserta Didik  a. Manfaat  Edukatif
Kegunaan sejarah yang pertama adalah sebagai edukatif atau pelajaran. Banyak manusia yang belajar dari sejarah.belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Pengalaman tidak hanya terbatas pada pengalaman yang dialaminya sendiri, melainkan juga dari generasi sebelumnya. Manusia melalui belajar dari sejarah dapat mengembangkan potensinya. Kesalahan pada masa lampau, baik kesalahan sendiri maupun kesalahan orang lain coba dihindari, sedangkan pengalaman yang baik justru harus ditiru dan dikembangkan. Dengan demikian, manusia dalam menjalani kehidupannya tidak berdasarkan coba-coba saja (trial and error), seperti yang dilakukan oleh binatang. Manusia harus berusaha menghindari kesalahan yang sama untuk Kedua kalinya.
b. Manfaat Inspiratif
Kegunaan sejarah yang kedua adalah sebagai inspiratif. Berbagai kisah sejarah dapat memberikan inspirasi pada pembaca dan pendengarnya. Belajar dari kebangkitan nasional yang dipelopori oleh berdirinya organisasi perjuangan yang modern  di awal abad ke-20, masyarakat Indonesia sekarang berusaha mengembangkan kebangkitan nasional angkatan ke-2. Pada kebangkitan nasional yang pertama, bangsa indonesia berusaha merebut kemerdekaan yang sekarang ini sudah dirasakan hasilnya.untuk mengembangkan dan mempertahankan kemerdekaan, bangsa indonesia ingin melakukan kebangkitan nasional yang ke-2, dengan bercita-cita mengeajar ketertinggalan dari bangsa asing. Bangsa Indonesia tidak hanya ingin merdeka, tetapi juga ingin menjadi bangsa yang maju, bangsa yang mampu menyejahterakan rakyatnya. untuk itu, bangsa indonesia harus giat menguasai IPTEK  karena melalui IPTEK yang dikuasai, bangsa indonesia berpeluang menjadi bangsa yang maju dan disegani, serta dapat ikut serta menjaga ketertiban dunia.
c. Manfaat rekreatif
Kegunaan sejarah yang ketiga adalah sebagai kegunaan rekreatif. Kegunaan sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar.  Melalui penulisan kisah sejarah yang menarik pembaca dapat terhibur. Gaya penulisan yang hidup dan komunikatif dari beberapa sejarawan terasa mampu “menghipnotis” pembaca. Pembaca akan merasa nyaman membaca tulisan dari sejarawan. Konsekuensi rasa senang dan daya taraik penulisan kisah sejarah tersebut membuat pembaca menjadi senang. Membaca menjadi media hiburan dan rekreatif. Membaca telah menjadi bagian dari kesenangan. Membaca tealah dirasakan sebagai suatu kebutuhan, yaitu kebutuhan yang untuk rekreatif. Pembaca dalam mempelajari hasil penulisan sejarah tidak hanya merasa senang layaknya membaca novel, tetapi juga dapat berimajinasi ke masa lampau. Disini peran sejarawan  dapat menjadi pemandu (guide). Orang yang ingin melihat situasi suatu daerah di masa lampau dapat membacanya dari hasil tulisan para sejarawan.





Pedagogik ( pengembangan pendidikan karakter dan potensi peserta didik)





  PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN POTENSI PESERTA DIDIK




Salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai dengan karakteristik siswanya.
Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya.
a.    Metode dalam psikologi perkembangan
      Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional.
      Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang lama.
      Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama.
b.   Pendekatan dalam psikologi perkembangan
Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata,
2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh /global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb. 
Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus
(spesifik).
c.    Teori perkembangan
teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu
-       Teori yang termasuk teori menyeluruh / global ( Rousseau, Stanley Hall, Havigurst),
-        Teori yang termasuk khusus / spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson),
Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau,  perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu
1)      Masa bayi infancy (0-2 tahun).
Oleh Rousseau, usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat.
2)      Masa anak / childhood (2-12 tahun)
Masa antara 2-12 tahun disebut masa perkembangan sebagai manusia primitive. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berpikir, intelektual, moral, dll. 
3)      Masa remaja awal / pubescence (12-15 tahun)
Masa usia 12-15, disebut masa remaja awal / pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang.
4)      Masa remaja / adolescence (15-25 tahun)
Usia 15-25 tahun disebut maswa remaja / adolescence. Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.
b.         Stanley Hall 
Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi,
Stanley Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:
1)    Masa kanak-kanak / infancy (0-4 tahun)
Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan. 
2)    Masa anak / childhood (4-8 tahun)
Oleh Hall, masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya.
3)    Masa puber / youth 8-12 tahun)
Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab.


4)    Masa remaja / adolescence (12 – dewasa)
Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah. 
c.         Robert J. Havigurst
Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase., yaitu:
1)    Masa bayi / infancy (0 – ½ tahun)
2)    Masa anak awal / early childhood (2/3 – 5/7 tahun)
3)    Masa anak / late childhood (5/7 tahun – pubesen)
4)    Masa adolesense awal / early adolescence (pubesen – pubertas_)
5)    Masa adolescence / late adolescence (pubertas – dewasa)
Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages) Aada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu:
1)        Ketergantungan – kemandirian
2)        Memberi – menerima kasih saying
3)        Hubungan social
4)        Perkembangan kata hati
5)        Peran biososio dan psikologis
6)        Penyesuaian dengan perubahan badan
7)        Penguasaan perubahan badan dan motorik
8)        Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik
9)        Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem symbol
10)    Kemampuan meolihat hubungan denganh alam semesta
Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnaya. 

d.         Jean Piaget
Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:
1)    Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja. 
2)    Tahap praoperasional (2-4 tahun)
Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.
3)    Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
4)    Tahap operasonal formal (11-15 tahun)
Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berpikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.

e.         Lawrence Kohlberg
Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning.
Manurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1)    Preconventional moral reasoning
a)        Obidience and paunisment orientation
Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan / undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman.
b)        Naively egoistic orientation
Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan / ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan keuntungan  atau tidak.
2)    Conventional moral reasoning
a)        Good boy orientation
Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good / nice boy orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami,  cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain.
b)        Authority and social order maintenance orientation
Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan system. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan public. 
3)    Post conventional moral reasoning
a)        Contranctual legalistic orientation
Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak sukad, dll) adalah relative, menyadari bahea hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat.
b)        Conscience or principle orientation
Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsipprinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (kukum legal dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika / moral.
            f.    Erick Homburger Erickson
Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table 1.1. 





Tabel 1.1: Perkembangan Psikososial Erickson
TAHAP
USIA
KRISIS PSIKOSOSIAL

KEMAMPUAN
I
0-1
Basic trust vs mistrust

Menerima,   dan
sebaliknya, memberi
II
2-3
Autonomy     vs           shame doubt
and
Menahan    atau
membiarkan
III
3-6
Initiative vs guilt

Menjadikan (seperti) permainan
IV
7-12
Industry vs inferiority

Membuat    atau
merangkai sesuatu
V
12-18
Identity vs role confusion

Menjadi diri sendiri, berbagi konsep diri
VI
20an
Intimacy vs isolation

Melepas      dan
mencari jati diri
VII
20-50
Generativity vs stagnation

Membuat, memelihara
VII
>50
Ego integrity vs despair



-          Pada tahap Basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman.
-          Pada tahap Autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Aanak mulai mempunyai keinginan dan kemauan sendiri.
-          Pada tahap ini, Industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat.
-          Pada tahap Identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada masa depannya
-          Pada tahap Intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus bersifat privat
-          Tahap Generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang.
-                      Tahap ini, Ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya

  1. Teori Belajar
Isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Terdapat dua aliran teori belajar, yakni aliran teori belajar tingkah laku (behavioristic) dan teori belajar kognitif.

1.      Teori belajar behavioristik
Teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk: 2001: 30).
Didalamnya terdapat dua hal, yaitu
1) uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual
2) uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa
     dipikirkan pada usia tertentu.
Teori belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987: 38)
sebagai suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus (rangsangan) dan respon (response).

Berikut dipaparkan empat teori belajar tingkah laku yaitu
teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.

a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect.
 Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan,anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Terdapat beberapa dalil atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1)        Hukum kesiapan (law of readiness)
      menjelaskan kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan.
2)        Hukum latihan (law of exercise)
      menyatakan bahwa jika hubungan stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. 
3)        Hukum akibat (law of effect)
      menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat
       Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:
1)        Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2)   Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3)   Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4)   Hukum respon melalui analogi ( Law of respon by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami  ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah
5)   Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1)      Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah hubungan stimulus-respons
2)       Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa
3)      Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respon tetepi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.                        
4)   Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain mau
       Pun bidang lain.

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1)                Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati
2)   Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice)     akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
3)    Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal yang penting.Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya

b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi feed back terhadap hasil pekerjaannya.

c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak. Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya .
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan
Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif

d. Teori belajar Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
 Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan..
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif.


2. Teori belajar Vygotsky
Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadi yang telah dimilikinya untuk membantu memahami masalah atau materi baru.
 Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri)
 tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu).

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandir

Gambar 2.Tiga Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan

Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi sosial.
(Tahap I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya
(Tahap II) terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti teman dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua.
Proses internalisasi (Tahap III) menurut Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena adanya interaksi sosial
3. Teori Belajar Van Hiele
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi,   dan akurasi.

a)  Tahap Visualisasi (Pengenalan)
      Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic)
b)   Tahap Analisis (Deskriptif)
       pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian  yang ada        pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
c)  Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
      Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun, sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun,juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain
d)  Tahap Deduksi
      Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal
e)   Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integras.
4. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa

Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai berikut.
(1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.
(2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar  
      Bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa.
Teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.       Pengaturan Awal (advance organizer).
        Mengarahkan siswa ke materi yang dipelajari,mengingatkan ke
        Materi sebelumnya.
b.      Diferensiasi Progresif.
Jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu.
Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar
                         c.    Belajar Superordinat.
                                Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
                       d.      Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif).
Memperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran,
Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
5. Teori Belajar Bruner
        Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan.
        Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
        Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema pendidikan, yakni: 
       (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan.
                    (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar
                    (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan
                    (4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-cara yang 
                         dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Tiga proses Bruner dalam belajar adalah
                         (1) memperoleh informasi baru,
                          (2) transformasi informasi
                          (3) menguji relevan informasi dan ketepatan pengetahuan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a.       Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari sifat stimulus.
b.      Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan
c.       Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang
Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presents), yaitu:
a. Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat secara langsung dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif.
b. Cara penyajian ikonik
Penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, sebagai objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel.
Bruner memberikan arahan bagaimana peran guru dalam menerapkan belajar penemuan pada siswa, sebagai berikut.
a.       Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah.
b.      Urutan pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian enaktif, ikonik, kemudian simbolik.
c.       Pada saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan sebagai pembimbing atau tutor.
d.      Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes esay.
 Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.

Tips wirausaha sucses

           Tentunya anda sudah keluar masuk google untuk mencari info tentang wira usaha apa yang cocok dengan anda.  Apakah anda me...