page-loader { position:fixed !important; position:absolute; top:0; right:0; bottom:0; left:0; z-index:999999; background: #000 url("URL IMAGE") no-repeat 50% 50%; padding:1em 1.2em; display:none }
SELAMAT DATANG. . .SELAMAT MENAMBAH PENGETAHUAN


SELAMAT DATANG . . .SEMOGA BERMANFAAT

Minggu, 27 Agustus 2017

Pedagogik ( pengembangan pendidikan karakter dan potensi peserta didik)





  PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN POTENSI PESERTA DIDIK




Salah satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai dengan karakteristik siswanya.
Perbedaan karakteristik anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya.
a.    Metode dalam psikologi perkembangan
      Ada dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional.
      Dengan metode longitudinal, peneliti mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam waktu yang lama.
      Dengan metode cross sectional, peneliti mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama.
b.   Pendekatan dalam psikologi perkembangan
Kajian perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan khusus (Nana Sodih Sukmadinata,
2009). Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh /global. Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi, religi, dsb. 
Walaupun demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus
(spesifik).
c.    Teori perkembangan
teori yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu
-       Teori yang termasuk teori menyeluruh / global ( Rousseau, Stanley Hall, Havigurst),
-        Teori yang termasuk khusus / spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson),
Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau,  perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu
1)      Masa bayi infancy (0-2 tahun).
Oleh Rousseau, usia antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yang sehat.
2)      Masa anak / childhood (2-12 tahun)
Masa antara 2-12 tahun disebut masa perkembangan sebagai manusia primitive. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berpikir, intelektual, moral, dll. 
3)      Masa remaja awal / pubescence (12-15 tahun)
Masa usia 12-15, disebut masa remaja awal / pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang.
4)      Masa remaja / adolescence (15-25 tahun)
Usia 15-25 tahun disebut maswa remaja / adolescence. Pada masa ini tejadi perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa hidup sebagai manusia beradab.
b.         Stanley Hall 
Stanley Hall, seorang psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi,
Stanley Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:
1)    Masa kanak-kanak / infancy (0-4 tahun)
Pada usia-usia ini, perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan. 
2)    Masa anak / childhood (4-8 tahun)
Oleh Hall, masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya.
3)    Masa puber / youth 8-12 tahun)
Pada masa ini anak tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab.


4)    Masa remaja / adolescence (12 – dewasa)
Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dunia yang selalu berubah. 
c.         Robert J. Havigurst
Havigurst menyusun tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus dipecahkan dalam setiap fase., yaitu:
1)    Masa bayi / infancy (0 – ½ tahun)
2)    Masa anak awal / early childhood (2/3 – 5/7 tahun)
3)    Masa anak / late childhood (5/7 tahun – pubesen)
4)    Masa adolesense awal / early adolescence (pubesen – pubertas_)
5)    Masa adolescence / late adolescence (pubertas – dewasa)
Menurut teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages) Aada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu:
1)        Ketergantungan – kemandirian
2)        Memberi – menerima kasih saying
3)        Hubungan social
4)        Perkembangan kata hati
5)        Peran biososio dan psikologis
6)        Penyesuaian dengan perubahan badan
7)        Penguasaan perubahan badan dan motorik
8)        Memahai dan mengendalikan lingkungan fisik
9)        Pengembangan kemampuan konseptual dan sistem symbol
10)    Kemampuan meolihat hubungan denganh alam semesta
Dikuasai atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan tugas-tugas pada fase berikutnaya. 

d.         Jean Piaget
Piaget lebih memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:
1)    Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
Tahap ini juga disebut masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja. 
2)    Tahap praoperasional (2-4 tahun)
Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas. Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.
3)    Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Tahap ini juga disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi.
4)    Tahap operasonal formal (11-15 tahun)
Tahap ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berpikir secara abstrak dan secara reflektif, serta mampu memecahkan berbagai masalah.

e.         Lawrence Kohlberg
Mengacu kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning.
Manurut Kohlberg, perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1)    Preconventional moral reasoning
a)        Obidience and paunisment orientation
Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya, yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang menetapkan aturan / undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari hukuman.
b)        Naively egoistic orientation
Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang lain. Kepeduliannya pada keadilan / ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan keuntungan  atau tidak.
2)    Conventional moral reasoning
a)        Good boy orientation
Pada tahap ini, orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good / nice boy orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami,  cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain.
b)        Authority and social order maintenance orientation
Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan system. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan public. 
3)    Post conventional moral reasoning
a)        Contranctual legalistic orientation
Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak sukad, dll) adalah relative, menyadari bahea hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat.
b)        Conscience or principle orientation
Pada tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal. Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsipprinsip etika yang bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan dari aturan moral. Masing-masing (kukum legal dan moral) harus diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika / moral.
            f.    Erick Homburger Erickson
Dia memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table 1.1. 





Tabel 1.1: Perkembangan Psikososial Erickson
TAHAP
USIA
KRISIS PSIKOSOSIAL

KEMAMPUAN
I
0-1
Basic trust vs mistrust

Menerima,   dan
sebaliknya, memberi
II
2-3
Autonomy     vs           shame doubt
and
Menahan    atau
membiarkan
III
3-6
Initiative vs guilt

Menjadikan (seperti) permainan
IV
7-12
Industry vs inferiority

Membuat    atau
merangkai sesuatu
V
12-18
Identity vs role confusion

Menjadi diri sendiri, berbagi konsep diri
VI
20an
Intimacy vs isolation

Melepas      dan
mencari jati diri
VII
20-50
Generativity vs stagnation

Membuat, memelihara
VII
>50
Ego integrity vs despair



-          Pada tahap Basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman.
-          Pada tahap Autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Aanak mulai mempunyai keinginan dan kemauan sendiri.
-          Pada tahap ini, Industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat.
-          Pada tahap Identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan berpengaruh besar pada masa depannya
-          Pada tahap Intimacy vs isolation (young adulthood – dewasa awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang memang harus bersifat privat
-          Tahap Generativity vs stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa tanggungjawab atas generasi yang akan datang.
-                      Tahap ini, Ego integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari karier satu ke karier lainnya

  1. Teori Belajar
Isi lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Terdapat dua aliran teori belajar, yakni aliran teori belajar tingkah laku (behavioristic) dan teori belajar kognitif.

1.      Teori belajar behavioristik
Teori belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman, dkk: 2001: 30).
Didalamnya terdapat dua hal, yaitu
1) uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual
2) uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa
     dipikirkan pada usia tertentu.
Teori belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987: 38)
sebagai suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus (rangsangan) dan respon (response).

Berikut dipaparkan empat teori belajar tingkah laku yaitu
teori belajar dari Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.

a. Teori Belajar dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect.
 Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan,anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Terdapat beberapa dalil atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1)        Hukum kesiapan (law of readiness)
      menjelaskan kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan.
2)        Hukum latihan (law of exercise)
      menyatakan bahwa jika hubungan stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. 
3)        Hukum akibat (law of effect)
      menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat
       Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum tambahan sebagai berikut:
1)        Hukum reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam- macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2)   Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3)   Hukum aktivitas berat sebelah (law of prepotency element)
Individu dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4)   Hukum respon melalui analogi ( Law of respon by analogy)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami  ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah
5)   Hukum perpindahan asosiasi (law of associative shifting)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan revisi hukum belajar antara lain:
1)      Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu akan memperlemah hubungan stimulus-respons
2)       Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena dalam penelitiannya. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan hubungan stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak berakibat apa-apa
3)      Syarat utama terjadinya hubungan stimulus-respon tetepi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.                        
4)   Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain mau
       Pun bidang lain.

Implikasi dari aliran pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1)                Untuk menjelaskan suatu konsep, guru sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati
2)   Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice)     akan lebih cocok untuk penguatan dan hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
3)    Hierarkis penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal yang penting.Materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas, dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep) prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya

b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi feed back terhadap hasil pekerjaannya.

c. Teori Belajar Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan pada anak. Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya .
Skinner menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan
Sebaliknya jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif

d. Teori belajar Bandura
Bandura mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
 Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus menerus antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan..
2) Beyond reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
3) Self-regulation/cognition
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif.


2. Teori belajar Vygotsky
Menurut pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan menggunakan pengetahuan siap dan pengalaman pribadi yang telah dimilikinya untuk membantu memahami masalah atau materi baru.
 Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri)
 tingkat perkembangan potensial (yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu).

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandir

Gambar 2.Tiga Tahap Pengkonstruksian Pengetahuan

Vygotsky menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui interaksi sosial.
(Tahap I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya
(Tahap II) terjadi pada saat siswa berinteraksi dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti teman dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua.
Proses internalisasi (Tahap III) menurut Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi jika terjadi karena adanya interaksi sosial
3. Teori Belajar Van Hiele
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
5 tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi,   dan akurasi.

a)  Tahap Visualisasi (Pengenalan)
      Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic)
b)   Tahap Analisis (Deskriptif)
       pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian  yang ada        pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
c)  Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
      Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun, sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap bangun,juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain
d)  Tahap Deduksi
      Pada tingkat ini (1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal
e)   Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Adapun fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integras.
4. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang bermakna Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada, yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa

Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. sedangkan pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada dua sebagai berikut.
(1) Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.
(2) Siswa yang akan belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar  
      Bermakna.
Prinsip-prinsip dalam teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa.
Teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.       Pengaturan Awal (advance organizer).
        Mengarahkan siswa ke materi yang dipelajari,mengingatkan ke
        Materi sebelumnya.
b.      Diferensiasi Progresif.
Jika unsur-unsur yang paling umum,paling inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu.
Menurut Sulaiman (1988: 203) diferensiasi progresif adalah cara mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar
                         c.    Belajar Superordinat.
                                Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif.
                       d.      Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif).
Memperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam pembelajaran,
Dadang Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
5. Teori Belajar Bruner
        Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan mentransformasikan pengetahuan.
        Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
        Dalam bukunya (Bruner, 1960) mengemukakan empat tema pendidikan, yakni: 
       (1) Pentingnya arti struktur pengetahuan.
                    (2) Kesiapan (readiness) untuk belajar
                    (3) Nilai intuisi dalam proses pendidikan
                    (4) motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-cara yang 
                         dimiliki para guru untuk merangsang motivasi itu.
Belajar sebagai Proses Kognitif
Tiga proses Bruner dalam belajar adalah
                         (1) memperoleh informasi baru,
                          (2) transformasi informasi
                          (3) menguji relevan informasi dan ketepatan pengetahuan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a.       Pertumbuhan intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari sifat stimulus.
b.      Pertumbuhan intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai dengan lingkungan
c.       Pertumbuhan intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang
Bruner (1966) mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presents), yaitu:
a. Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif adalah melalui tindakan, anak terlibat secara langsung dalam memanipulasi (mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif.
b. Cara penyajian ikonik
Penyajian ikonik didasarkan pada pikiran internal melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik, yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, sebagai objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel.
Bruner memberikan arahan bagaimana peran guru dalam menerapkan belajar penemuan pada siswa, sebagai berikut.
a.       Merencanakan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah.
b.      Urutan pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian enaktif, ikonik, kemudian simbolik.
c.       Pada saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan sebagai pembimbing atau tutor.
d.      Dalam menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes esay.
 Tujuan belajar penemuan adalah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips wirausaha sucses

           Tentunya anda sudah keluar masuk google untuk mencari info tentang wira usaha apa yang cocok dengan anda.  Apakah anda me...