PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN POTENSI
PESERTA DIDIK
Salah
satu dari kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru adalah memahami
karakteristik anak didiknya, sehingga tujuan pembelajaran, materi yang
disiapkan, dan metode yang dirancang untuk menyampaikannya benar-benar sesuai
dengan karakteristik siswanya.
Perbedaan karakteristik
anak salah satunya dapat dipengaruhi oleh perkembangannya.
a.
Metode
dalam psikologi perkembangan
Ada
dua metode yang sering dipakai dalam meneliti perkembangan manusia, yaitu longitudinal dan cross sectional.
Dengan
metode longitudinal, peneliti
mengamati dan mengkaji perkembangan satu atau banyak orang yang sama usia dalam
waktu yang lama.
Dengan
metode cross sectional, peneliti
mengamati dan mengkaji banyak anak dengan berbagai usia dalam waktu yang sama.
b.
Pendekatan
dalam psikologi perkembangan
Kajian
perkembangan manuasi dapat menggunakan pendekatan menyeluruh atau pendekatan
khusus (Nana Sodih Sukmadinata,
2009).
Menganalisis seluruh segi perkembangan disebut pendekatan menyeluruh /global.
Segala segi perkembangan dideskripsikan dalam pendekatan ini, seperti
perkembangan fisik, motorik, social, intelektual, moral, intelektual, emosi,
religi, dsb.
Walaupun
demikian, untuk mempermudah penelitian, pembahasan dapat dilakukan per aspek
perkembangan. Misalnya, ada peneliti yang memfokuskan kajiannya pada
perkambangan aspek fisik saja, aspek intelektual saja, aspek moral saja, aspek
emosi saja, dsb. Inilah yang dikenal dengan pendekatan khusus
(spesifik).
c. Teori perkembangan
teori
yang sering menjadi acuan dalam bidang pendidikan, yaitu
-
Teori yang termasuk
teori menyeluruh / global ( Rousseau, Stanley Hall, Havigurst),
-
Teori yang termasuk khusus / spesifik (Piaget,
Kohlbergf, Erikson),
Jean Jacques Rousseau
merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yang menjadi pendorong pembelajaran
discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, perkembangan anak terbagi menjadi empat tahap,
yaitu
1)
Masa
bayi infancy (0-2 tahun).
Oleh Rousseau, usia
antara 0-2 tahun adalah masa perkembangan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik
lebih dominan dibandingkan perkembangan aspek lain, sehingga anak disebut
sebagai binatang yang sehat.
2)
Masa
anak / childhood (2-12 tahun)
Masa antara 2-12 tahun
disebut masa perkembangan sebagai manusia primitive. Kecuali masih terjadi
pertumbuhan fisik secara pesat, aspek lain sebagai manusia juga mulai
berkembang, misalnya kemampuan berbicara, berpikir, intelektual, moral, dll.
3)
Masa
remaja awal / pubescence (12-15 tahun)
Masa usia 12-15,
disebut masa remaja awal / pubescence, ditandai dengan perkembangan pesat
intelektual dan kemampuan bernalar juga disebut masa bertualang.
4)
Masa
remaja / adolescence (15-25 tahun)
Usia
15-25 tahun disebut maswa remaja / adolescence. Pada masa ini tejadi
perkembangan pesat aspek seksual, social, moral, dan nurani, juga disebut masa
hidup sebagai manusia beradab.
b.
Stanley Hall
Stanley Hall, seorang
psikolog dari Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah
tentang siklus hidup (life span) yang berteori bahwa perubahan menuju dewasa
terjadi dalam sekuens (urutan) yang universal bagian dari proses evolusi,
Stanley
Hall membagi masa perkembangan menjadi empat tahap, yaitu:
1)
Masa
kanak-kanak / infancy (0-4 tahun)
Pada usia-usia ini,
perkembangan anak disamakan dengan binatang, yaitu melata atau berjalan.
2)
Masa
anak / childhood (4-8 tahun)
Oleh
Hall, masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pemahaman lingkungannya,
sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya.
3)
Masa
puber / youth 8-12 tahun)
Pada masa ini anak
tumbuh dan berkembang tetapi sebhagai makhluk yang belum beradab.
4)
Masa
remaja / adolescence (12 – dewasa)
Pada masa ini, anak
mestinya sudah menjadi manusia beradab yang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan dunia yang selalu berubah.
c.
Robert
J. Havigurst
Havigurst menyusun
tahap-tahap perkembangan menjadi lima tahap berdasarkan problema yang harus
dipecahkan dalam setiap fase., yaitu:
1)
Masa bayi / infancy (0
– ½ tahun)
2)
Masa anak awal / early
childhood (2/3 – 5/7 tahun)
3)
Masa anak / late
childhood (5/7 tahun – pubesen)
4)
Masa adolesense awal /
early adolescence (pubesen – pubertas_)
5)
Masa adolescence / late
adolescence (pubertas – dewasa)
Menurut
teori ini, dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap perkembangan
(developmental stages) Aada sepuluh tugas perkembangan yang harus dikuasai anak
pada setiap fase, yaitu:
1)
Ketergantungan –
kemandirian
2)
Memberi – menerima
kasih saying
3)
Hubungan social
4)
Perkembangan kata hati
5)
Peran biososio dan
psikologis
6)
Penyesuaian dengan
perubahan badan
7)
Penguasaan perubahan
badan dan motorik
8)
Memahai dan
mengendalikan lingkungan fisik
9)
Pengembangan kemampuan
konseptual dan sistem symbol
10)
Kemampuan meolihat
hubungan denganh alam semesta
Dikuasai
atau tidaknya tugas perkembangan pada setiap fase akan mempengaruhi penguasaan
tugas-tugas pada fase berikutnaya.
d.
Jean
Piaget
Piaget lebih
memfokuskan kajiannya dalam aspek perkembangan kognitif anak dan
mengelompokkannya dalam empat tahap, yaitu:
1)
Tahap sensorimotorik
(0-2 tahun)
Tahap ini juga disebut
masa discriminating dan labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada
gerak-gerak reflex, bahasa awal, dan ruang waktu sekarang saja.
2)
Tahap praoperasional
(2-4 tahun)
Pada
tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut juga dengan masa
intuitif, anak mulai mengembangkan kemampuan menerima stimulus secara terbatas.
Kemampuan bahasa mulai berkembang, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir
abstrak, dan kemampuan persepsi waktu dan ruang masih terbatas.
3)
Tahap operasional
konkrit (7-11 tahun)
Tahap ini juga disebut
masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menyelesaikan
tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan
membagi.
4)
Tahap operasonal formal
(11-15 tahun)
Tahap
ini juga disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah mampu
berpikir tingkat tinggi, seperti berpikir secara deduktif, induktif,
menganalisis, mensintesis, mampu berpikir secara abstrak dan secara reflektif,
serta mampu memecahkan berbagai masalah.
e.
Lawrence
Kohlberg
Mengacu
kepada teori perkembangan Piaget yang berfokus pada perkembangan kognitif,
Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning.
Manurut Kohlberg,
perkembangan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1)
Preconventional
moral reasoning
a)
Obidience and
paunisment orientation
Pada tahap ini,
orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dari perbuatan benar – salahnya,
yaitu hukuman dan kepatuhan. Mereka hormat kepada penguasa, penguasalah yang
menetapkan aturan / undang-undang, mereka berbuat benar untuk menghindari
hukuman.
b)
Naively egoistic
orientation
Pada tahap ini, anak
beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar adalah perbuatan yang
secara instrument memuaskan keinginannya sendiri dan (kadang-kadang) juga orang
lain. Kepeduliannya pada keadilan / ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu
apakah mendatangkan keuntungan atau
tidak.
2)
Conventional moral
reasoning
a)
Good boy orientation
Pada tahap ini,
orientasi perbuatan yang baik adalah yang menyenangkan, membantu, atau
diepakati oleh orang lain. Orientasi ini juga disebut good / nice boy
orientation. Anak patuh pada karakter tertentu yang dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi
anak baik, saling berhubungan baik, peduli terhadap orang lain.
b)
Authority and social
order maintenance orientation
Pada tahap ini,
orientasi anak adalah pada aturan dan hukum. Anak menganggap perlunya menjaga
ketertiban, memenuhi kewajiban dan tugas umum, mencegah terjadinya kekacauan
system. Hukum dan perintah penguasa adalah mutlak dan final, penekanan pada
kewajiban dan tugas terkait dengan perannya yang diterima di masyarakat dan
public.
3)
Post
conventional moral reasoning
a)
Contranctual legalistic
orientation
Pada tahap ini,
orientasi anak pada legalitas kontrak social. Anak mulai peduli pada hak azasi
individu, dan yang baik adalah yang disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak
menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/buruk, suka/tidak sukad, dll) adalah
relative, menyadari bahea hukum adalah intrumen yang disetujui untuk mengatur
kehidupan masyarakat, dan itu dapat diubha melalui diskusi apabila hukum gagal
mengetur masyarakat.
b)
Conscience or principle
orientation
Pada
tahap ini, orientasi adalah pada prinsip-prinsip etika yang bersifat universal.
Benar-salah harus disesuaikan dengan tuntutan prinsipprinsip etika yang
bersifat ini sari dari etika universal. Aturan hukum legal harus dipisahkan
dari aturan moral. Masing-masing (kukum legal dan moral) harus diakui terpisah,
masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada
nilai-nilai etika / moral.
f. Erick
Homburger Erickson
Dia
memusatkan kajiannya pada perkembangan psikososial anak. Menurut Erickson
(dalam Harre dan Lamb, 1988), dalam perkembangan, anak melewati delapan tahap
perkembangan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yang
ditandai dengan adanya krisis psikososial tertentu. Kedelapan tahap tersebut
digambarkan pada table 1.1.
Tabel 1.1: Perkembangan
Psikososial Erickson
TAHAP
|
USIA
|
KRISIS
PSIKOSOSIAL
|
|
KEMAMPUAN
|
I
|
0-1
|
Basic
trust vs mistrust
|
|
Menerima,
dan
sebaliknya,
memberi
|
II
|
2-3
|
Autonomy
vs shame
doubt
|
and
|
Menahan
atau
membiarkan
|
III
|
3-6
|
Initiative
vs guilt
|
|
Menjadikan
(seperti) permainan
|
IV
|
7-12
|
Industry
vs inferiority
|
|
Membuat
atau
merangkai
sesuatu
|
V
|
12-18
|
Identity
vs role confusion
|
|
Menjadi
diri sendiri, berbagi konsep diri
|
VI
|
20an
|
Intimacy
vs isolation
|
|
Melepas
dan
mencari
jati diri
|
VII
|
20-50
|
Generativity
vs stagnation
|
|
Membuat,
memelihara
|
VII
|
>50
|
Ego
integrity vs despair
|
|
|
-
Pada tahap Basic trust
vs mistrust (infancy – bayi), anak
baru mulai mengenal dunia, perhatian anak adalah mencari rasa aman dan nyaman.
-
Pada tahap Autonomy vs
shame and doubt (toddler – masa
bermain), anak tidak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Aanak mulai
mempunyai keinginan dan kemauan sendiri.
-
Pada tahap ini,
Industry vs inferiority (schoolage –
masa sekolah), anak cenderung luar biasa sibuk melakukan berbagai aktifitas
yang diharapkan mempunyai hasil dalam waktu dekat.
-
Pada tahap Identity vs
role confusion (asolescence –
remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini
akan akan berpengaruh besar pada masa depannya
-
Pada tahap Intimacy vs
isolation (young adulthood – dewasa
awal), anak mulai menyadari bahwa meskipun dalam banyak hal memerlukan
komunikasi dengan masyarakat dan teman sebaya, dalam hal-hal tertentu, ada yang
memang harus bersifat privat
-
Tahap Generativity vs
stagnation (middle adulthood – dewasa tengah-tengan) menandai munculnya rasa
tanggungjawab atas generasi yang akan datang.
-
Tahap ini, Ego
integrity vs despair (later adulthood – dewasa akhir), adalah tahap akhir dari
siklus kehidupan. Individu akan melakukan introspeksi, mereview kembali
perjalanan kehidupan yang telah dilalui dari hari ke hari, dari tahun ke tahun,
dari karier satu ke karier lainnya
- Teori Belajar
Isi lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa penguasaan
teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah satu
unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Terdapat
dua aliran teori belajar, yakni aliran teori belajar tingkah laku
(behavioristic) dan teori belajar kognitif.
1. Teori
belajar behavioristik
Teori belajar adalah
teori yang mempelajari perkembangan intelektual (mental) individu (Suherman,
dkk: 2001: 30).
Didalamnya terdapat dua
hal, yaitu
1) uraian tentang apa
yang terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual
2) uraian tentang
kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa
dipikirkan pada usia tertentu.
Teori
belajar tingkah laku dinyatakan oleh Orton (1987: 38)
sebagai
suatu keyakinan bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan stimulus (rangsangan)
dan respon (response).
Berikut
dipaparkan empat teori belajar tingkah laku yaitu
teori belajar dari
Thorndike, Skinner, Pavlov, dan Bandura.
a. Teori Belajar dari
Thorndike
Edward Lee Thorndike
(1874 – 1949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of effect.
Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa
terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan,anak
memperoleh suatu kesuksesan yang pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke
jenjang kesuksesan berikutnya.
Terdapat beberapa dalil
atau hukum yang terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum
latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
1)
Hukum
kesiapan (law of readiness)
menjelaskan kesiapan
seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan.
2)
Hukum
latihan (law of exercise)
menyatakan bahwa jika
hubungan stimulus- respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat,
sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah
hubungan yang terjadi.
3)
Hukum
akibat (law of effect)
menjelaskan bahwa apabila
asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan
maka asosiasi akan semakin meningkat
Selanjutnya Thorndike mengemukakan hukum
tambahan sebagai berikut:
1)
Hukum
reaksi bervariasi (law of multiple response)
Individu
diawali dengan proses trial and error yang menunjukkan bermacam- macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2) Hukum sikap (law of attitude)
Perilaku
belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon
saja, tetapi juga ditentukan oleh keadaan yang ada dalam diri individu baik
kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3)
Hukum aktivitas berat sebelah (law
of prepotency element)
Individu
dalam proses belajar memberikan respons pada stimulus tertentu saja sesuai
dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi (respon selektif).
4)
Hukum
respon melalui analogi ( Law of respon by analogy)
Individu
dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami ke situasi baru. Semakin banyak unsur yang
sama, maka transfer akan semakin mudah
5) Hukum perpindahan
asosiasi (law of associative shifting)
Proses
peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan
hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyampaian teorinya, Thorndike mengemukakan
revisi hukum belajar antara lain:
1)
Hukum
latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus-respons, sebaliknya tanpa pengulangan belum tentu
akan memperlemah hubungan stimulus-respons
2)
Hukum akibat (law of effect) direvisi, karena
dalam penelitiannya. Jika diberikan hadiah (reward) maka akan meningkatkan
hubungan stimulus-respons, sedangkan jika diberikan hukuman (punishment) tidak
berakibat apa-apa
3)
Syarat
utama terjadinya hubungan stimulus-respon tetepi adanya saling sesuai antara
stimulus dan respon.
4) Akibat suatu perbuatan dapat menular baik
pada bidang lain mau
Pun bidang lain.
Implikasi dari aliran
pengaitan ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari adalah bahwa:
1)
Untuk menjelaskan suatu konsep, guru
sebaiknya mengambil contoh yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Alat peraga dari alam sekitar akan lebih dihayati
2) Metode
pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok untuk penguatan dan
hafalan. Dengan penerapan metode tersebut siswa akan lebih banyak mendapatkan
stimulus sehingga respon yang diberikan pun akan lebih banyak.
3) Hierarkis
penyusunan komposisi materi dalam kurikulum merupakan hal yang penting.Materi
disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar sesuai dengan tingkat kelas,
dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih mudah sebagai akibat untuk
dapat menguasai materi yang lebih sukar. Dengan kata lain topik (konsep)
prasyarat harus dikuasai dulu agar dapat memahami topik berikutnya
b. Teori Belajar Pavlov
Pavlov
terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning).
Misalnya, agar siswa mengerjakan soal pekerjaan rumah dengan baik, biasakanlah
dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi feed back terhadap hasil
pekerjaannya.
c. Teori Belajar Skinner
Burhus
Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan
yang amat penting dalam proses belajar. Contoh penguatan positif diantaranya
adalah pujian yang diberikan pada anak. Penguatan akan berbekas pada diri
anak. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau
menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan
penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi
anak untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasi yang diraihnya .
Skinner
menambahkan bahwa jika respon siswa baik (menunjang efektivitas pencapaian
tujuan) harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih baik
lagi, atau minimal perbuatan baik itu dipertahankan
Sebaliknya
jika respon siswa kurang atau tidak diharapkan sehingga tidak menunjang tujuan
pengajaran, harus segera diberi penguatan negatif agar respon tersebut tidak
diulangi lagi dan berubah menjadi respon yang sifatnya positif. Penguatan
negatif ini bisa berupa teguran, peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif
d. Teori belajar Bandura
Bandura
mengemukakan bahwa siswa belajar melalui meniru. Pengertian meniru di sini
bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,
terutama guru.
Bandura
memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus,
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Teori belajar sosial dari
Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan
penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi perilaku.
Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
dari Bandura didasarkan pada tiga konsep, yaitu:
1) Reciprocal determinism
Pendekatan yang
menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-balik yang terus
menerus antara kognitif, tingkah laku, dan lingkungan..
2) Beyond reinforcement
Bandura
memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement.
Menurutnya, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku
akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkah
laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian
mengulang apa yang dilihatnya.
3)
Self-regulation/cognition
Teori
belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidakmampuan
mereka untuk menjelaskan proses kognitif.
2. Teori belajar Vygotsky
Menurut
pandangan konstruktivisme tentang belajar, individu akan menggunakan
pengetahuan siap dan pengalaman pribadi yang telah dimilikinya untuk membantu
memahami masalah atau materi baru.
Ada dua
konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD)
dan scaffolding.
Zone
of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak
antara tingkat perkembangan aktual (yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri)
tingkat perkembangan potensial (yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu).
Scaffolding
merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap- tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Bantuan
tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan,
peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan
contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandir
Gambar 2.Tiga Tahap Pengkonstruksian
Pengetahuan
Vygotsky
menekankan bahwa pengkonstruksian pengetahuan seorang individu dicapai melalui
interaksi sosial.
(Tahap
I) terjadi pada saat siswa berusaha sendiri menyudahi
konflik kognitif yang dialaminya
(Tahap
II) terjadi pada saat siswa berinteraksi
dengan pihak lain dalam komunitas kelas yang memiliki kemampuan lebih, seperti
teman dan guru, atau dengan komunitas lain seperti orang tua.
Proses internalisasi
(Tahap III) menurut Vygotsky merupakan aktivitas mental tingkat tinggi
jika terjadi karena adanya interaksi sosial
3. Teori Belajar Van
Hiele
Dalam
pembelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh van Hiele
(1954) yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
5
tahap pemahaman geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
akurasi.
a)
Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat
ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan
(holistic)
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
pada tingkat ini siswa sudah terbiasa
menganalisis bagian-bagian yang ada pada
suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau
Relasional)
Pada tingkat
ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang
lain pada sesuatu bangun, sudah memahami pelunya definisi untuk tiap-tiap
bangun,juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun
yang lain
d)
Tahap Deduksi
Pada tingkat ini
(1) siswa sudah dapat mengambil kesimpulan secara deduktif, yakni menarik
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus, (2) siswa mampu memahami
pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan
terorema-teorema dalam geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun
bukti-bukti secara formal
e)
Tahap Akurasi (tingkat metamatematis
atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak
sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang
melandasi suatu pembuktian.
Adapun fase-fase
pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam
pembelajaran dalam mencapai tujuan itu. Fase-fase
pembelajaran tersebut adalah: 1) fase informasi, 2) fase orientasi, 3) fase
eksplisitasi, 4) fase orientasi bebas, dan 5) fase integras.
4.
Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli
psikologi pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada proses belajar yang
bermakna Menurut Ausubel belajar dapat dikalifikasikan ke dalam dua dimensi.
Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa
melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagimana
siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada,
yang meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat
oleh siswa
Belajar bermakna merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi
tinggal menghapalkannya, sedangkan pada belajar menemukan konsep ditemukan
oleh siswa, jadi siswa tidak menerima pelajaran begitu saja. sedangkan pada belajar
bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkannya dengan keadaan
lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
prasyarat-prasyarat belajar bermakna ada
dua sebagai berikut.
(1) Materi yang akan dipelajari harus
bermakna secara potensial.
(2) Siswa yang akan belajar harus
bertujuan untuk melaksanakan belajar
Bermakna.
Prinsip-prinsip
dalam teori belajar Ausubel
Menurut Ausubel faktor yang paling
penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang sudah diketahui siswa.
Teori Ausubel dalam mengajar, terdapat konsep-konsep
atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a. Pengaturan
Awal (advance organizer).
Mengarahkan
siswa ke materi yang dipelajari,mengingatkan ke
Materi
sebelumnya.
b. Diferensiasi
Progresif.
Jika unsur-unsur yang paling umum,paling
inklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru
diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu.
Menurut Sulaiman (1988: 203)
diferensiasi progresif adalah cara
mengembangkan pokok bahasan melalui penguraian bahan secara heirarkhis sehingga
setiap bagian dapat dipelajari secara terpisah dari satu kesatuan yang besar
c. Belajar
Superordinat.
Belajar
superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah dipelajari
sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas, lebih
inklusif.
d. Penyesuaian
Integratif (Rekonsiliasi Integratif).
Memperlihatkan bagaimana konsep-konsep
baru dihubungkan pada konsep- konsep superordinat. Guru harus memperlihatkan
secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan
dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagimana konsep-konsep yang
tingkatannya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Untuk menerapkan teori Ausubel dalam
pembelajaran,
Dadang
Sulaiman (1988) menyarankan agar menggunakan dua
fase, yakni fase perencanaan dan fase pelaksanaan.
5.
Teori Belajar Bruner
Bruner banyak
memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia
belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan
mentransformasikan pengetahuan.
Ini menunjukkan bahwa
materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah
dipahami dan diingat anak.
Dalam bukunya (Bruner,
1960) mengemukakan empat tema pendidikan,
yakni:
(1) Pentingnya arti struktur pengetahuan.
(2)
Kesiapan (readiness) untuk belajar
(3) Nilai
intuisi dalam proses pendidikan
(4)
motivasi atau keinginan untuk belajar beserta cara-cara yang
dimiliki para guru untuk merangsang motivasi
itu.
Belajar
sebagai Proses Kognitif
Tiga proses Bruner dalam belajar adalah
(1) memperoleh informasi baru,
(2)
transformasi informasi
(3)
menguji relevan informasi dan ketepatan pengetahuan.
Pendewasaan pertumbuhan intelektual atau pertumbuhan
kognitif seseorang menurut Bruner adalah sebagai berikut.
a.
Pertumbuhan
intelektual ditunjukkan oleh bertambahnya ketidak-tergantungan respons dari
sifat stimulus.
b.
Pertumbuhan
intelektual tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi
peristiwa-peristiwa menjdi suatu sistem simpanan (storage system) yang sesuai
dengan lingkungan
c.
Pertumbuhan
intelektual menyangkut peningkatan kemampuan seseorang
Bruner (1966)
mengemukakan bahwa terdapat tiga sistem keterampilan Ketiga sistem keterampilan itu
adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes
of presents), yaitu:
a.
Cara penyajian enaktif
Cara penyajian enaktif
adalah melalui tindakan, anak terlibat secara langsung dalam memanipulasi
(mengotak-atik )objek, sehingga bersifat manipulatif.
b.
Cara penyajian ikonik
Penyajian ikonik
didasarkan pada pikiran internal melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik,
yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, sebagai objek-objek yang
dimanipulasinya.
c.
Cara penyajian simbolik
Cara penyajian simbolik
didasarkan pada sistem berpikir abstrak, arbitrer, dan lebih fleksibel.
Bruner
memberikan arahan bagaimana peran guru dalam menerapkan belajar penemuan pada
siswa, sebagai berikut.
a.
Merencanakan
materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan
masalah.
b.
Urutan
pengajaran hendaknya menggunakan cara penyajian enaktif, ikonik, kemudian
simbolik.
c.
Pada
saat siswa memcahkan masalah, guru hendaknya berperan sebagai pembimbing atau
tutor.
d.
Dalam
menilai hasil belajar bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes esay.
Tujuan
belajar penemuan adalah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan
menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar